belum sempat nulis lihat gambarnya aja ya


Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, akan dikembalikan fungsinya sebagai Pusat dari seluruh kegiatan kebudayaan Keraton. Istana yang dibangun pada tahun 1935 itu akan kembali menjadi istana bagi Sultan dari Kesultanan Kutai Kartanegara, paling lambat pada tahun 2010 mendatang.
Kalau anda ke Kalimantan Timur, jangan lupa untuk berkunjung ke Kabupaten Kutai Barat. Sebuah Kabupaten baru hasil pemekaran dari Kutai Kartanegara pada 5 November 1999 lalu. Bupati pertamanya adalah Ir Rama Asia, dan kemudian digantikan oleh Ismael Thomas pada Pilkada 2005 lalu.
Apabila anda senang dengan eksotisme kesenian dan adat budaya masyarakat Dayak, terutama Tunjung dan Benuaq, maka tidak salah untuk mengunjungi Kubar si Tana' Purai Ngeriman, yang artinya adalah "negeri subur dan rejeki melimpah".jpg)
Untuk keperluan penginapan dan akomodasi lainnya, anda tidak erlu khawatir, bagi para pelancong dengan modal tipis, tersedia angkutan Bus antar kota yang melayani angkutan dari dan Ke Kubar setiap hari. Perjalanan ke sana memerlukan waktu sekitar 7 sampai 8 jam, dengan pemandangan alam kalimantan yang sangat indah. Untuk naik bus anda dapat langsung ke terminal Singai Kunjang Samarinda, atau diperhentian Bukit Biru Tenggarong.
Sebuah sudut langit yang terekam di Kelurahan Makroman, Kecamatan Samarinda Ilir, ada sudut keindahan dari bentang alam yang terasa sunyi. Meski bagian dari ibu kota provinsi Kalimantan Timur, keberadaannya memang jauh dari ramai.
Untuk mencapai ke kelurahan tersebut, kita harus berkendara sejauh kurang lebih 20 Km dari Kota Samarinda. Tidak ada fasilitas apapun di tempat ini, karena memang keberadaannya bukan daerah tujuan wisata. Makroman tepatnya adalah sebuah desa transmigrasi yang umurnya kurang lebih sama dengan transmigrasi di Desa Sidomulyo Anggana Kutai Kartanegara, yang menjadi batas langsung di bagian timur Makroman.
Tempat ini indah lanscapnya karena berada di atas perbukitan, untuk mencapainya kita harus melewati dahulu sebuah jalan aspal yang berlubang, kemudian kita akan tembus ke daerah perbukitan di mana jarang penduduknya, dan jalannya tidak beraspal, karena dibangun dengan kerikil saja sebagai agregatnya.
Beberapa waktu saya sempat mengabadikan beberapa petani di Tenggarong, sedang menebang pohon rumbia. Kegiatan ini sangat jarang dan termasuk unik di Tenggarong, karena sagu bukan merupakan makanan pokok warga di Kutai Kartanegara.
Karena penasaran saya mengikuti kegiatan mereka, ternyata yang dilakukan adalah, menebang rumbia untuk diambil isi batangnya sebagai makanan ternak itik yang merekapelihara. Menurut para petani ini, rumbia sangat cocok untuk pakan itik petelur karena selain murah juga mengandung karbohidrat.
Sebelumnya mereka memberi makan itiknya dengan keong, namun akhir-akhir ini keong yang semula merajalela di berbagai pelosok Tenggarong, mulai langka akibat sering dimusnahkan karena seringkali menjadi hama perusaka tanaman padi para petani.
Satu pohon rumbia harganya hanya Rp.75 ribu rupiah, satu pohon cukup sebagai pakan itik selama 2 minggu, dengan jumlahnya sekitar 200 ekor lebih. Sedangkan harga dedak satu karung sebesar Rp.25 ribu rupiah dan tahan hanya sekitar 4 hari saja.
Biasanya rumbia ditebang ramai-ramai, kemudian batangnya dipotong-potong untuk dihanyutkan ke sungai Tenggarong guna memudahkan membawanya.
Menandai dimulainya pesta adat Erau 2009, pihak Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura tadi pagi menggelar upacara adat Mendirikan Ayu.Upacara adat Mendirikan Ayu yang berlangsung di Keraton Kesultanan Kutai atau Museum Mulawarman ini dihadiri Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) H Awang Faroek Ishak, Staf Ahli Menbudpar RI Bidang Ekonomi & Iptek Titin Sukarya, unsur Muspida Provinsi Kaltim dan Muspida Kukar.
Sebelum Mendirikan Ayu dilaksanakan, Sultan Kutai H Adji Mohd Salehoeddin II terlebih dahulu melemparkan butiran beras kuning ke arah Ayu yang disebut Sangkoh Piatu.
Sangkoh Piatu sendiri merupakan senjata Raja pertama Kutai Kartanegara Aji Batara Agung Dewa Sakti yang pada batangnya dikaitkan Tali Juwita dan kain Cinde, janur kuning, daun sirih dan buah pinang yang dibungkus kain kuning.
Kemudian, beberapa anggota kerabat Kesultanan bersama Gubernur Kaltim H Awang Faroek dan Pj Bupati Kukar H Sjachruddin mengangkat Tiang Ayu sebanyak 3 kali hingga tegak berdiri.
Menurut Menteri Sekretaris Keraton Kesultanan Kutai HAP Gondo Prawiro, Tiang Ayu atau Pinang Ayu atau disebut juga Rebak Ayu merupakan lambang kerahayuan. "Dengan dilaksanakannya Mendirikan Ayu ini, maka upacara adat Erau resmi dimulai," jelasnya.
Pelaksanaan upacara Mendirikan Ayu sendiri berlangsung sederhana dan penuh khidmat. Tidak ada sambutan atau pun seremonial lainnya, kecuali pembacaan doa di akhir upacara adat tersebut.
Usai Mendirikan Ayu, Gubernur Kaltim dan rombongan menyeberangi sungai Mahakam menuju Stadion Madya Tenggarong Seberang yang menjadi tempat pelaksanaan upacara pembukaan Erau 2009. (win/www.kutaikartanegara.com )
Kota Tenggarong dibelah oleh sebuah sungai yang cukup lebar bernama sungai Tenggarong. Sungai ini pada masa dahulu hingga tahun 1970-an adalah urat nadi transportasi masyarakat dari Tenggarong ke Dusun Bensamar kira-kira 20 km dari Tenggarong. Ketika itu airnya jenih dan banyak ikan sehingga masyarakat dengan mudah menangkap ikan tanpa perlu bersusah payah seperti sekarang.
Sungai tersebut sangat ramai dengan lalu lintas perahu ketinting, yang masuk ke Bensamar dan pergi ke Tenggarong ataupun Teriti. Di beberapa tikungan sungainya, banyak perkampungan rakyat yang mengandalkan hidup dari berladang, berkebun, dan kayu (ketika itu zaman banjirkap banyak warga yang kaya karena kayu).
Namun kini kejayaan Sungai Tenggarong, atau dahulu lebih dikenal dengan nama Sungai Loa Ipuh, yang terkenal karena di Muaranya ada pemukiman bantar sungai dengan nama Kampung Tanjung, tidak seramai dan seindah dahulu lagi, airnya bahkan telah dinyatakan pihak Dinkes dan Bapedalda Kukar pada tahun 2003 lalu, sebagai sungai yang tidak layak konsumsi karena mengandung virus ecoli.
Airnya juga tidak sejernih dahulu, karena di arah Ulu sungai sekitar Kampung Jelatik (Ulu Bensamar lagi) telah aktif sebuah pertambangan batu bara, milik sebuah perusahaan bernama MHU.
Demikian pula dengan sumber daya ikannya yang melimpah hingga sekitar tahun 1999 lalu, kini sangat jauh berkurang. Hal itu bukan hanya pencemaran air sungai akibat aktivitas pertambangan, tetapi juga lantaran ada beberapa oknum pencari ikan yang mencari dengan cara meracuni aliran sungai dengan sejenis tumbuhan tuba maupun bahan kimia, sehingga ikan mulai dari induk hingga anaknya mati.
Saya tidak mengira ternyata hari Jumat di sebuah desa pedalaman, seperti di Desa Melintang Kecamatan Muara Wis, merupakan sebuah hari yang sangat istimewa. Memang kalau di Tenggarong Ibu Kota Kabupaten Kutai Kartanegara, setiap hari Jumat akan ramai orang sholat jumat, biasa dan tidak istimewa malah, karena untuk ukuran kota jumlah yang sholat dan tidak ternyata banyak yang tidak.
Nah di Desa Melintang ini hari Jumat terasa sangat istimewa, bukan hanya lantaran hari itu setiap muslim laki-laki bersholat jumat, namun juga pakaian yang mereka kenakan, kendaraan yang mereka naiki, bahkan kekusyukannya melebihi kita yang di kota. Pengalaman saya ketika bertandang ke Melintang pada medio 2008 lalu, tepat hari jumat, ratusan perahu ketinting merapat ke berbagai jamban ataupun pelabuhan. Pakaian mereka para jamaah Jumat ini nampak serasi putih-putih, saya bahkan melihatnya seperti parade air ketika Malam Idul Fitri tiba, sungguh luar biasa.
Saya yang jarang sholat juga terketuk untuk turutu sholat, bersama beberapa orang kawan saya berjalan melalui jalan raya desa yang merupakan sebuah jembatan ulin panjang. Sengaja jalan desa dibuat dengan tiang karena Desa Melintang dan beberapa desa lainnya di pedalaman, memang secara periodik akan mengalami banjir atau air dalam, sehingga bangunan yang efektif memang hanyalah sebuah bangunan panggung dari Kayu Ulin.
Masjid tempat saya sholat adalah masid raya terbesar di Kecamatan Muara Wis, namanya adalajh Masjid Kesatuan Desa Melintang. Dari namanya tentu dapat kita tebak bahwa masjid tersebut memang merupakan masjid warisan masa pemerintahan Orde Baru ketika awal-awal 80-an lalu. Bangunan masjid nampak bersahaja dengan menaranya yang nampak tinggi dan kokoh, bangunanya lumayan luas dan mampu menampung hingga seribu jamaah lebih, demikian pula halamannya juga nampak luas.
Masjid ini berdinding kayu dan di bingkai dengan jendela kaca yang mengelilingi masjid, karena bangunannya cukup tinggi, sehingga apabila kita sholat di dalamnya pada siang hari yang cerah, seakan-akan kita melihat langit di depan kita, sehingga keindahan dan kekusyukan ketika menghadap sang khalik memang sangat terasa.
Orangnya masih muda dari suku Jawa, namun kawin dengan perempuan Bugis, saya suka dengan cara bicara dan pandangannya dalam bergaul. Kebetulan saya sempat berinteraksi, orangnya pendiam namun bila berbicara cukup membuat orang-orang bebal seperti saya mendengarkannya.
Berburu buaya di Pantuan, sepertinya judul di atas terlalu berat. Namun kurang lebih begitulah yang terjadi pada bulan Agustus 2008 lalu, ketika itu saya bertandang ke Desa Muara Pantuan Kecamatan Anggana. Kebetulan tiga hari sebelumnya ada sebuah insiden seorang pekerja tambak udang baru saja tewas diterkam seekor buaya muara yang ganas.
Kejadiannya sekitar pukul 3 sore, ketika para pekerja tambak yang berlokasi di sebuah wilayah bernama Genting tersebut, berenang dari sisi timur tanggul ke tengah tambak. Namun baru saja seorang diantaranya menceburkan diri, langsung disambar oleh buaya yang ternyata telah masuk tambak sejak malam sebelumnya.
Karena lapar, akhirnya ia mengintai para pekerja dan kebetulan seorang diantaranya bernasib naas. Kawan-kawan pekerja tambak yang memang berasal dari Pulau Jawa tersebut, tidak berani membantu kecuali bert teriak-teriak namun tidak membuahkan hasil apa-apa. Kawan mereka di putar, dilempar untuk kemudian diseret kedalam hutan yang masih terdapat di tengah tambak yang luasnya mencapai 10 hektar lebih tersebut.
Keesokan harinya bantuan dari dari Desa Pantuan yang jaraknya sekitar 1,5 jam dengan kapal bermesin diesel dari genting berdatangan. Setelah diadakan pencarian kurang lebih 7 jam, akhirnya jasad pekerja tersebut ditemukan di sebuah gundukan tanah yang ada di tengah tambak. Kondisinya cukup mengenaskan, perut robek dan kaki sebelah kanan hilang sampai ke pinggul.
Ketika saya bertandang 3 hari kemudian, saya sudah tidak mendapati jasad pekerja itu yang telah dimakamkan oleh warga setempat. Namun untuk mengobati rasa penasaran tersebut, saya mengikuti tiga orang tetua kampung untuk melakukan pengintaian terhadap buaya yang ternyata belum tertangkap itu.
Suasana di petang yang temaram itu cukup mendirikan bulu roma, dengan ditingkahi suara jendela pondok yang telah ditinggalkan pekerja berbunyi ditiup angin. Kami mendapati lokasi bekas buaya tersebut naik melalui tanggul, bekas kakinya cukup lebar sehingga diperkirakan panjangnya sekitar 7 sampai 8 meter.
Di sepanjang perjalanan pulang kami menyaksikan keindahan gerombolan kunang-kunang yang hinggap di pohon, sehingga terlihat bagaikan lampu seri yang kelap kelip di gelap malam. Dalam hati saya terus berdoa agar kapal yang kami kendarai selamat hingga perairan muara, dan ternyata juru mudinya memang handal dan telah terbiasa mengemudi kapal dalam keadaan gelap gulita.
Setelah lama tidak ke Kutai Lama, akhirnya pada Rabu 8 Juli lalu saya menyempatkan diri untuk ke sana. Tujuan saya adalah Bukit Jahitan Layar, yang bagi orang kutai sangat melegenda karena merupakan tempat turunya (lahir/datang) seorang Aji Batar Agung Dewa Sakti, Raja Kutai Kartanegara yang pertama.
Mengendarai motor honda legenda, saya langsung menuju ke Jembatan Kutai Lama yang baru saja rampung di bangun. Pemandangan dari jembatan juga menunjukkan keindahan, di mana pada sisi barat atu ulu jembatan dapat kita lihat sebuah padang rumput luas beks persawahan.
Sesampainya di jahitan layar saya langsung dibawa oleh seorang penunjuk jalan untuk melihat ceruk perbukitan yang ternyata terdiri atas perbukitan pasir putih dan kapur. Di salah satu sudutnya kami menemukan fosil kayu yang belum jadi, sehingga nampak terlihat seperti kayu namun telah berat seperti batu tetapi masih lemah kurang lebih tanah pasir.
Pohon tersebut cukup besar, dengan tekstur kulit yang masih terlihat, demikian pula dengan inti kayu yang biasanya lemah juga terlihat sempurna, rupanya alam telah mengawetkan kayu tersebut selama ribuan tahun. Disamping fosil kayu tersebut banyak ditemukan bertebaran berbagai batu krikil yang cantik, sehingga saya mengambil beberapa biji sebagai kenang-kenangan. Disamping itu juga banyak ditemukan batuan yang kerasnya menyerupai besi, namun karena saya tidak memiliki pengetahuan geologi sedikitpun jadi saya tidak tahu apa nama jenisnys.
Setelah itu kami menanjak agak ke atas yang ternyata juga memiliki dataran pasir putih landai yang luas di kaki bukit. Di sana lekukan perbukitan saya lihat justru mnyerupai tatanan candi-candi, padahal itu hanya sebuah cekungan alami yang terbentuk oleh alam lantaran terkena erosi dan longsoran. "Wah ini memang eksotisme di kaki langit kalimantan"gumam saya.
Kami beristirahat hingga sekitar pukul 17.30 menunggu sunset, namun hingga pukul 18 sunset tidak saya dapatkan lantaran ada awan yang menutupi kaki bukit jahitan layar di sebelah barat. Dalam perjalanan pulang di kaki bukit saya menemukan jejak kaki babi berpasangan yang menuju arah barat, dan seekor anjing putih menuruni bukit.
Kata teman yang menunjukkan jalan, Jahitan layar memang indah dan sangat ideal untuk dijadikan lokasi Camping, terutama camping spiritual. Katanya di tempat itu seringkali ada penampakan seperti perempuan cantik, babi, anjing jadi-jadian, dan hantu hutan. Wah seperti apa ya tampangnya hantu hutan?
"Tidak perlu keliling dunia" demikian syair sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Gita Gutawa. Ia menceritakan tentang keindahan alam Indonesia yang ternyata belum kita kunjungi semua. Termasuk di Kabupaten Kutai Kartanegara, banyak keindahan alam di sini.
Desa Melintang dan Muara Enggelam, dua dari tujuh desa yang ada di Kecamatan Muara Wis Kabupaten Kutai Kartanegara. Meskipun saya adalah warga asli Kutai, tapi perjalanan ke Ulu Mahakam ini adalah baru pertama kali saya lakukan.
Saya sangat terkesan dengan keindahan danau melintang dan keadaan desanya yang berada di sisi danau. Sungguh sebuah pengalaman berharga, karena ketika itu saya melihat adanya sisi lain kabupaten ini.
Rumah rakit, dan jajaran ikan asin yang dijemur pada jamban-jamban, menegaskan kembali kata hati saya; bahwa keindahan itu juga ada di sini. Serasa tidak ingin pulang, begitu indah suasananya sehingga menjadikan saya betah berlama-lama.
Meskipun sebuah desa yang rumah penduduknya sebagian besar berada di atas Rakit, namun Muara Enggelam juga memiliki jembatan yang indah, ketika air meninggi jembatan itu dapat ditarik sehingga kapal dan perahu dapat melaluinya