Jumat, 06 Desember 2013


Kawan ku ketika aku menulis ini aku ingat pada masa zaman keemasan kita saat di mana kita merasa memiliki semuanya Dengan semua keterbatasan dan sebenarnya dengan segala ketidak punyaan kita


Ketika itu persahabatan adalah asa dan semua kita selalu bersama Usia belasan kita memberikan kebebasan, namun ketika itu kita taati aturan

Berjalan ke berbagai penjuru mata angin, mengayuh pedal sepeda dan terjatuh.

Ketika usia makin beranjak kita mulai tahu rasanya cinta dan masing masing kita, punya gadis pujaan sebuah masa pertama dalam fase kedewasaan kita First love, demikianlah ketika itu kita merasakan dan masing masing kita tenggelam bersama cinta pertama itu. Sayangnya semua tidak berjalan mulus dan masing masing kita juga merasakan namanya patah.

Berbagai reaksi kita masing masing, bila kupikir saat ini sangat menggelikan..
Kamu dengan patah hatimu melakukan tindakan ceroboh hampir membahayakan jiwamu, dan kamu beruntung mampu melewatinya dengan selamat.

Aku ketika itu memberikan support dan berbagai kata bijak, dan akhirnya kamu sehat dan melewati langkah-langkah dalam hidupmu dengan baik. Beberapa bulan setelah itu giliranku merasakan patah hati untuk cinta pertama, broken heart, dan semua kata bijak yang kuberikan padamu terasa tidak berguna bagiku.

Ketika itu aku memilih untuk berkelana, pergi dari satu tempat ke tempat lain, bekerja dan melupakan masa lalu. Aku berjalan terhuyung, condong dan menyedihkan, namun aku melaluinya dengan baik dan setelahnya mampu menapaki masa depan lagi dengan baik.

Dan kawan tahukah kamu saat ini aku kehilangan sesuatu yang seperti dulu kita kehilangan, dan aku saat ini sekali lagi harus terhuyung dan condong. Berjalan tak tentu arah untuk melupakannya dan mensugesti diriku dengan kata bijak yang banyak bersilewaran di internet. Mulai Mario Teguh hingga Kahlil Gibran

Namun semua tidak menghilangkan gundahku, andai bisa ketemu Rommy Rafael aku mau minta hipnotis saja. Sehingga aku bisa lupa bahkan pada diriku sendiri dan bisa melakukan hal hal baru yang lebih baik dan berguna. Salam ..!!

Minggu, 17 November 2013

Kerajaan Tertua Di Indonesia Bukan Kutai


Kerajaan  Tertua di Indonesia yang berada di Desa Brubus Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara  namanya bukan Kerajaan Kutai. Karena Kerajaan Kutai sebenarnya baru muncul di Muara Mahakam, di Desa Kutai Lama Kecamatan Anggana pada abad ke 13 yang  raja pertamanya adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Bandingkan dengan dengan berdirinya Kerajaan Hindu di Muara Kaman yang berdiri pada  abad ke 4 Masehi, dengan raja pertamanya adalah Kudungga. Dalam Prasasti Yupa dan berbagai cerita maupun literatur yang sangat minim. Tidak pernah disebutkan sebagai kerajaan Kutai, namun  seringkali disebutkan sebagai negeri Martadipura dengan ibu kota Martapura, dan memiliki tempat persembahyangan bernama Waprakeswara.

Memiliki kekayaan yang melimpah sehingga mempersembahkan jiwadana, berupa pohon kalpataru, dan 3 ribu ekor sapi untuk para pendeta yang telah sudi membantu raja dalam berbagai hal. Hadiah itu tercatat dalam prasasti Yupa yaitu tiang batu bertulis, dan nama raja yang memberikannya adalah Mulawarman anak dari Aswawarman, cucu dari Kudungga yang mendirikan kerajaan.

Secara dialek bahasa, meskipun diakui sebagai bahasa Kutai, namun dialek warga Muara Kaman memang agak berbeda dengan dialek Kutai di Tenggarong. Dalam sejarahnya Martadipura yang kaya akan sumber daya alam berupa emas dan komidti hutan seperti tengkawang dan rotan, akhirnya menjadi rival dari kerajaan baru di Muara Mahakam yang bernama Kutai Kartanegara.

Dalam perjalanannya kedua Kerajaan sama-sama berusaha menghindarkan diri dari jurang peperangan. Terbukti dengan berbagai diplomasi kedua belah pihak, seperti upaya untuk saling mengakui saudara, dan dilakukannya perkawinan antara putri raja di Muara Kaman dan putra mahkota Kerajaan Kutai Kartanegara.

Namun upaya itu tidak dapat mengihndarkan kepentingan strategis kedua kerajaan dan akhirnya konfrontasi tidak bisa dihindarkan. Dengan posisinya yang strategis di Muara Mahakam, maka kerajaan Kutai Kartanegara mampu melakukan isolasi baik perdagangan maupun pertahanan terhadap Muara Kaman yang berada di pedalaman.

Setiap perjalanan ke Muara Kaman dan kerajaan-kerajaan lainnya di pedalaman, seperti Sendawar, Kota Bangun dan Kedang, maka harus melalui Sungai Mahakam. Sehingga Armada Kerajaan Kutai Kartanegara meskipun tidak sebesar kerajaan-kerajaan di Jawa atau Sumatra mampu melakukan pencegatan yang efektif.

Terisolasi, Muara Kaman coba membangun persekutuan dengan kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman. Namun keberhasilan Kutai Kartanegara mengadakan perjanjian dengan kerajaan Sendawar  yang merupakan kerajaan terbesar di pedalaman  dari Suku Dayak Tunjung  semakin melemahkan Muara Kaman.

Klimak dari persaingan dua kerajaan ini terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Sinum Panji Mendapa di Kutai Kartanegara. Sedangkan di Muara Kaman, menjabat Maharaja Darmasetia. Sejarah mencatat bahwa pemicu peperangan adalah masuknya pengaruh Islam di tanah Kutai.

Namun pengaruh Islam itu hanya sebagai klimak dari berbagai konfrontasi yang telah terjadi ratusan tahun. Sumber ekonomilah yang menjadi alasan sebenarnya peperangan, dengan menguasai Muara Kaman, maka Kerajaan Kutai berhak atas emas yang melimpah dan berkuasa penuh terhadap kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman dan sekitar danau-danau besar di pedalaman hingga perbatasan Sendawar.

Dengan isoliasi yang sangat lama maka peperangan tidak berlangsung lama, dalam 3 hari pertama peperangan Brubus yang menjadi pusat pemerintahan berhasil dihancurkan. Berdasarkan buku sejarah Kutai yang harusnya dilakukan penelitian lagi kea rah itu, Perlawanan pasukan Muara Kaman hanya tercatat dalam hari pertama penyerangan, dengan cara menumpahkan emas-emas mereka di tepian Danau Lipan yang dahulu kala luasnya bagaikan lautan.

Siasat Kerajaan Muara Kaman itu berhasil sehingga banyak pasukan Kerajaan Kutai yang lupa daratan, sehingga masing –masing berlomba ke daratan, dan kedatangan mereka disambut senjata-senjata pasukan Darmasetia yang sudah menunggu.

Sementara perang berkecamuk, para pendeta Hindu yang selama ini mendarma baktikan dirinya kepada Kerajaan Martadipura, segera melarikan diri ke arah Wahau di Kutai Timur. Kepergian mereka demi menyelematkan berbagai perlengkapan ibadahnya, seperti arca-raca dewa dan berbagai perlengkapan upacara dari emas dan perah serta permata, karena terburu-buru banyak dari harta itu yang tercecer untuk kemudian ditemukan penduduk kemudian hari.

Peperangan berakhir setelah Pangeran Sinum Panji Mendapa dapat menewaskan Maharaja Darmasetia yang berperang demi keyakinan masing-masing. Dalam buku sejarah Kutai tertuliskan bahwa ketika itu penduduk berlarian, karena rumah-rumah di bakar, dan istana dihancurkan, darah menggenang hingga setinggi tumit akibat perang yang bagi mereka ketika itu sangat besar.

Setelah dapat mengalahkan Kerajaan Martadipura, maka Pangeran Sinum Panji Mendapa, menambahkan nama Martadipura di belakang nama Kutai Kartanegara menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang artinya menang di Martadipura dan aneksasi resmi dilakukan.  Pangeran Sinum sendiri juga menambahkan Martadipura di belakang namanya dengan Sebutan Pangeran Sinum Panji Mendapa Ing Martadipura.

Maka sejak itu berakhirlah Kerajaan Martadipura dengan Ibu Kota Martapura, bagi keturunan kerajaan yang memeluk Islam maka diperkenankan untuk kembali ke Martadipura  yang sejak itu lebih dikenal sebagai Muara Kaman hingga kini.

Sedangkan bagi yang masih mempertahankan agama lamanya yaitu Hindu, maka disebut dengan “Urang Adat Lawas” yaitu artinya orang mempertahankan adat yang lama. Mereka banyak mencari suaka ke Kerajaan Pantun di Kedang Ipil. Salah warisan kerajaan Martadipura yang diadopsi oleh Kutai Kartanegara adalah Tarian Dewa yang dipentaskan setiap Erau. Semula pada masa Orde Baru ketika Erau mulai diselenggerakan sebagai festival budaya, taruan tersebut bernama tarian mulawarman.

Entah mengulang kembali rivalitasnya, atau ada motif-motif lainnya, saat ini muncul kembali  pihak yang mengaku sebagai Keturunan Kerajaan Martadipura, dan mentasbihkan Kemaharajaannya dan silsilahnya. Apabila di Tenggarong ada Erau makan di Muara Kaman ada Cerau.

Sabtu, 16 November 2013

Penambang Lupa Daratan di Sanga Sanga dan Samarinda



Sebuah Lokasi Tambang di Tepi Jalan SangaSanga Muara Jawa
(photo: ariankula)
Sanga Sanga adalah sebuah kecamatan yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara, pernah mencapai masa keemasannya pada tahun 1930an, dan selama masa-masa awal kemerdekaan. Kala itu Sanga Sanga sangat gemerlap dan dikatakan sebagai salah satu kota metropolitan di Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, kemajuan itu berkat ditemukannya sumber minyak di louise 1 Sanga Sanga, dan atas perjanjian antara perusahaan minyak Belanda dengan Kesultanan maka mulailah ekplorasi.

Alam yang hijau berubah seperti planet Mars,
kering penuh debu (photo:ariankula)
Namun gemerlap kejayaan itu akhirnya meredup, tidak hanya karena lapangan minyak tidak produktif lagi. Tetapi ada gemuruh kejayaan baru, yaitu batu bara, atas nama kemakmuran dan pemanfaatan potensi penghasilan daerah, maka ijin Usah Pertambangan (IUP) turun mengepung sanga-sanga.

Jumlahnya tidak tanggung-tanggung  untuk kecamatan seluas 233,4 km2, Sanga Sanga memiliki ratusan  lahan tambang yang dimiliki berbagai perusahaan baik legal maupun ilegal. Dampaknya, mulai dari menurunnya kualitas udara, bencana banjir bandang lumpur, bocah tennggelam di kolam tambang. Bahkan yang terakhir adalah putusnya jalan desa akibat ekplorasi tambang yang  lupa daratan.

stockfile di tepi sungai sanga sanga (photo:ariankula)

Jalan Budiyara Kelurahan Sanga Sanga Muara jalannya ambruk akibat aktivitas pertambangan yang tidak berwawasan lingkungan. Perusahaan batu bara hanya  mementingkan keuntungan tanpa memikirkan kepentingan warga, dan apabila terjadi persoalan selalu saja hanya ramai bagaikan pepatah hangat tahi ayam,. Tidak seberapa lama semua kasus akan mengendap entah di mana dan peruahaan beroperasi kembali seolah tidak ada persoalan.

Sepanjang jalan dari Samboja ke Muara Jawa, hingga Sanga Sanga tambang memang terlihat berkuasa. Mereka tidak hanya membabat hutan dan mengubah topografi alam tanpa kajian lingkungan. Bahkan melakukan loading atau pengangkutan batu bara di jalan umum, sepanjang Samboja Muara Jawa dan Sanga sanga.

batu bara inilah yang membuat para penambang lupa pada
 lingkungan (photo:ariankula)
Tidak hanya monopoli Kutai Kartanegara, bahkan Ibu Kota Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda, telah terkepung tambang. Sama  seperti Sanga Sanga ratusan KP telah mengepung Samarinda, akibatnya dapat dirasakan ketika hujan turun, air dengan cepat menggenangi jalanan di Kota Samarinda.

Sampai pada tahap ini saya teringat pada seorang teman wartawan salah satu harian di daerah ini beberapa tahun lalu. Bahwa semboyan “Bangga Membangun Kaltim ketika itu baiknya di ganti saja dengan “Bangga Merusak Kaltim.

jajaran kapal penarik ponton standby di muara sanga sanga
(photo:ariakula)

Ketika itu dengan nada bergurau tapi juga tersinggung saya bilang; kamu ini sudah numpang cari makan di daerah saya,  kok sukanya mencela” Teman saya itu menjawab; “ siapa yang mencela, coba kamu lihat semua di runtuhin, bukit dijadikan danau, rawa dan sungai di timbun, apa namanya tidak merusak lingkungan?” katanya.

Dan sekitar 10 tahunan sejak itu yakni pada tahu 2013 ini, omongan mencela teman saya itu memang benar adanya. Hasil dari eksplorasi sumber daya alam yang tidak melalui kajian bersunguh-sungguh, memang memberikan dampak merusak dan akibatnya telah dirasakan masyarakat.
sanga sanga kota pahlawan yang kini membutuhkan pejuang
lingkungan untuk membela rakyatnya (photo:ariankula)


Karena itu sebelum terlambat, kita berharap semua pihak yang lagi “dirasuki” tambang batu bara, siapapun mereka, mohon menambanglah dengan cara yang berwawasan lingkungan.

Anda mungkin tidak tinggal di Kaltim anda mungkin di Jakarta, di Singapuran dan lainnya, namun kerja anda di tempat kami membahayakan lingkungan kami.

Para pemangku kebijakan daerah, jika ada cara untuk tidak merusak lingkungan kita kami mohon, ambil kebijakan itu sebelum terlambat.

Walaupun mungkin ada ipar anda, saudara anda 
suami, atau istri anda juga ikut menambang, tetapi bantulah kami untuk menjaga lingkungan.

Jangan selalu cuci tangan apabila telah terjadi kerusakan dengan pura pura marah, padahal anda semua tidak benar benar marah.

Jumat, 15 November 2013

Kemacetan (Mungkin) Tanggung Jawab Pemerintah


Simpang 4 Air Putih Samarinda, Sebagai Ibu Kota Propinsi Infrastruktur jalan 
di kota ini  sangat tidak memadai, jalannya sangat sempit  tidak sesuai
dengan laju pertumbuhan kendaraan dan proyeksi pertambahan jumlah 
penduduk yang banyak berdatangan dari daerah lain terutama dari Pulau Jawa
Akhir-akhir ini hampir di seluruh kota besar di Negara kita Indonesia tercinta ini mengalami kemacetan. Setiap ibu kota propinsi yang merangkap jadi pusat ekonomi tiap daerah,  plus Ibukota Negara RI yang juga merangkap sebagai pusat ekonomi nasional  mengalami kemacetan yang sangat memusingkan terlebih lagi apabila jam sibuk yaitu jam kerja dan ketika pulang bekerja serta ditambah akhir pecan di wilayah tertentu  pada setiap daerah.

Berbagai kajian telah disampaikan berbagai pihak mengenai biang kemacetan dan cara mengatasinya. Di berbagai media nasional sangat sering bahkan hampir tiap pagi siang dan malam, dibahas masalah kemacetan lalu lintas ini. Seringakli juga diberitakan silang pendapat atau perbedaaan pandangan antara Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan Gubernur Jokowi Widodo dari Daerah Khusu Ibu Kota (DKI) Jakarta.

Presiden memandang bahwa masalah kemacetan ini adalah tanggung jawab kepala daerah, dalam hal ini gubernur pada tiap daerahnya, dan salah satu yang disebut adalah daerah ibu kota Negara yaitu Jakarta. Presiden mengaku ditanya oleh rekannya sesama pemimpin ASEAN lainnya tentang kemacetan di Jakarta, sebagai Ibukota Negara memang Jakarta bukan hanya menjadi perhatian rakyat Jakarta dan Indonesia saja juga bagi para pemimpin Negara tetangga terkait dengan kepentingan bisnis dan strattegis mereka di Indonesia.

Pernyataan presiden ini mendapat tanggapan dari Jokowi yang justru melemparkan pernyataan bahwa, kemacetan Jakarta juga tanggung jawab pusat. Jokowi yang merasa seolah olah dikritisi oleh presiden juga menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat dengan mobil murahnya itulah yang menyebabkan kemacetan makin para di Jakarta dan daerah lainnya.

Sampai pada titik ini silang pendapat yang sengit terjadi antara para Jokowisme sejati (istilah saya bagi mereka yang pro kebijakan Jokowi secara mutlak tanpa boleh dibantah), dengan para pengamat lain yang melihat permasalahan secara proporsional.

Tetapi saya juga tidak akan ikut mengkritisi Jokowi karena selain takut di serang para Jokowisme, juga tidak pada tempatnya saya warga daerah Kaltim yang jauh dari Jakarta dan jarang sekali ke Jakarta untuk ikut-ikutan bicara Busway dan MRT ataupun mobil murah yang katanya akan memacetkan Jakarta.

Karena tiap daerah tentunya memiliki karakteristik masing masing, sehingga ahlinya seharusnya orang yang tahu tentang daerah itu sendiri bukan tiba-tiba dari daerah lihat lihat terus coba-coba dan berteori dalam kebijakan karena kebijakan yang masih sebatas teori terlihat dari tidak matangnya hasil. Salah obat bukan semakin baik tetapi semakin parah itu pasti.

Bagi daerah saya Kalimantan Timur, yang meliputi Samarinda sebagai Ibu Kota Provinsi dan Balikpapan sebagai pusat ekonomi, ditambah Tenggarong Kutai Kartanegara, Bontang, dan Samboja sebagai penyangga, kemacetan belum begitu parah. Tetapi sudah mulai sangat terasa di Samarinda dan Balikpapan pada jam kerja yang itu berangkat dan pulang.

Beberapa waktu lalu ketika mencuci mobil, saya sempat terlibat debat kusir dengan seorang pengusaha yang memiliki mobil Honda CRV. Entah karena terlalu lama menunggu sehingga yang bersangkutan boring dan bĂȘte, basi basi mengalir ke masalah kemacetan Samarinda yang mulai terasa sehingga menganggu aktivitas bisnis setiap orang.

Si pengusaha yang tidak saya tahu namanya ini dengan logat Sulawesi yang kental, mengatakan bahwa masalah kemacetan ini dirinya setuju dengan ucapan Gubernur DKI Jokowi bahwa kemacetan disebabkan oleh adanya mobil murah dan kredit  mobil yang mudah.

Sehingga tiap orang dapat membeli mobil, dan tipikal warga kita yang tidak mau kalah saing, juga membuat penjualan mobil dengan cara kredit Berjaya  sehingga jalanan makin dipenuhi kendaraan roda 4 dan 2 yang dimiliki bahkan oleh warga kurang mampu secara finasial untuk memberli mobil itu sendiri dan dipaksakan demi agara tidak kalah dengan tetangga.

Saya sendiri mobil saya murah karena hanya bermerek Xenia dan saya beli secara kredit. Yang saya rasakan adalah saya sangat merasa terbantu dengan mobil murah ini, karena saya bisa beraktivitas tepat waktu dan pergi kemanapun tanpa terganggu dengan rute angkutan umum daerah ini.

Saya sendiri tidak merasa gaya dengan mobil murah ini, karena ketika belum punya mobil saya naik angkutan umum dari samarinda ke Tenggarong, kalau ke terlalu sore seringkali saya diturunkan dari angkutan samarinda tenggarong di tengah jalan karena kurang penumpang, saya dititipkan pada mobil lainnya.

Belum lagi angkutanya si sopir menyetir semaunya, kursinya dari kayu papan atau kota, dan mobilnya adalah mobil Cold tahun 1980an yang dulu ketika saya kecil saya naik itu juga. Pengalaman saya naik bis dari Balikpapan Samarinda tidak dapat tempat duduk, berdiri juga tidak bisa sehingga duduk di lantai tengah bus, dan busnya melakukan aksi kebut sehingga penumpang banyak yang takut dan berteriak minta sopiranya pelan.

Saya juga pernah naik taksi bandara dari Sepinggan ke Samarinda, dan taksi-taksi ini sungguh sangat mengerikan mereka melaju dengan kecamatan melebihi 100 km/jam dan mendahului mobil atau kendaraan lain di tikungan yang di jalan antara Balikpapan – Samarinda tidak ada jalan lurus kecuali sedikit di wilayah Kecamatan Samboja Kutai Karatanegara.

Apabila ingin ke daerah kota tertentu yang berada dipinggiran atau pedalaman, seringkali tidak terjangkau angkutan umum dan infrastruktur jalan sendiri sangat tidak mendukung untuk angkutan umum. Sehingga bagi yang sayang nyawa lebih baik menggunakan kendaraan sendiri.

Peran pemerintah terutama pemerintah daerah juga sangat penting, seperti Kota Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan Bontang, yang hingga saat ini jalannya rata-rata sempit semua, terlihat tidak memiliki visi ke depan tentang estimasi jumlah pengguna jalan dalam hitungan beberapa tahun ke depan. Terlihat pemerintah baik provinsi Kaltim dan kota maupun kabupaten, masih berpikir seperti tahun 1980an ketika mobil dan motor jarang berada di jalanan.

Keengganan pemerintah untuk melakukan peleberan lahan dengan alasan terbentur pada masalah pembebasan terlalu  mengada-ngada. Karena pada setiap rumah, setiap kendaraan yang ada di jalan, dan setiap manusia yang bernapas, semua membayar pajak, baik itu PBB, kendaraan, restoran, pajak hiburan, bahkan ketika bayi baru lahir ke dunia juga sudah membayar pajak melalui rumah bersalin.

Kenapa pemerintah takut untuk membebaskan lahan, dana tinggal anggarkan. Dari pada dianggarkan untuk studi lahan gambut dan pengelolaan rawa ke belgia dan norwegia. Atau biaya operasional sidak yang tidak pernah ada progresnya. Lebih baik dianggarkan untuk pembebasan lahan guna pelebaran jalan.

Selain itu anggarkan juga untuk  pembangunan angkutan massal, seperti jalur bus antar kota dalam provinsi dan saran kereta api. Dengan demikian akan terjadi banyak pilihan oleh rakyat untuk bepergian. Saya bila ada sarana umum dan massal yang representatif tentu memilih angkutan umum karena sangat menghemat uang dan tenaga.

Untuk saat ini saya masih setia dengan Xenia saya mobil murah sejuta umat dan irit bahan bakar hehe. Karena angkutan umum seperti di kaltim ini masih sangat mahal dan tidak nyaman. Kalaupun nyaman juga kadang mobilnya membalap, sehingga menurut mobil murah itu untuk sementara menolang rakyat menengah.