Kamis, 20 Agustus 2009

Sirna Timbul Kedaulatan Budaya Kutai

Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, akan dikembalikan fungsinya sebagai Pusat dari seluruh kegiatan kebudayaan Keraton. Istana yang dibangun pada tahun 1935 itu akan kembali menjadi istana bagi Sultan dari Kesultanan Kutai Kartanegara, paling lambat pada tahun 2010 mendatang.

Hal itu dilakukan pemerintah daerah Kalimantan Timur sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya adi luhung peninggalan Nusantara. Dikembalikannya keraton yang pada tahun 1971 telah ianeksasi Pemerintah Militer ketika dengan harga Rp.64 juta rupiah, merupakan harapan sebagian besar masyarakat Kutai Kartanegara asli, terutama yang berada di Tenggarong dan sekitarnya. Karena tanpa disadari oleh sebagian pihak yang anti terhadap feodalisme, keberadaan istana dan sultannya yang hingga kini masih lestari adalah wujud dari eksistensi dari "Urang Kutai" itu sendiri.

Bahwa pengembalian fungsi keraton dan sultan dianggap sebagai upaya membangkitkan semangat feodalisme, adalah hal yang sangat tidak relevan di era globalisasi seperti sekarang ini. Tidak hanya ketakutan akan hidupnya kembali feodalisme itu akan menentang upaya pelestarian budaya, dan pensuksesan program pariwista daerah dan nasional. Juga karena sejak zaman Kesultanan Kutai Kartanegara masih jaya, semangat feodalisme itu tidak pernah sedikitpun ditanamkan dalam setiap hati bangsawan tinggi serta para raja Kesultanan Kutai Kartanegara.

Anak para raja dan rakyat biasa masih bergaul secara bebas, bahkan ada seorang bangsawan bernama Aji Pangeran Sosro Tua, yang selalu membagikan sedekah berupa uang logam lima sen kepada anak-anak di Tenggarong siapa saja yang bertandang ke rumahnya. Bahkan ketika itu sakralitas seorang Sultan Aji Muhammad Parikesit juga tidak pernah padam meskipun beliau selalu bergaul dengan anak orang kampung, main band, dan memancing seorang diri.

Rakyat Kutai Kartanegara terutama yang hidup di Tenggarong dan sekitarnya tetap mengganggap Sultan sebagai manusia keramat, meskipun yang bersangkutan sangat low profil. Bahkan ketika kekuasaannya dilucuti oleh penguasa daerah militer sejak zaman PKI, ketika dipenjarakan dan istana yang telah dibangunnya juga diambil alih Pemerintah Indonesia, Aji Parkesit tetap ikhlas hingga akhir hayatnya.

Pelucutan kekuasaan bukan memupus dan menamatkan kisah dan sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, sebagai penakluk kerajaan tertua di Indonesia, Martadipura. Namun justru kisah dan jalannya kerajaan di masa lalu menjadi kisah abadi di sanubari urang kutai. Negara boleh berubah, istana boleh sirna, kekuasaan ada waktu pupusnya, namun budaya dan eksistensi urang kutai, tidak akan pernah pupus.

Kehidupan urang kutai yang selalu mengalir, ibarat air Sungai Mahakam. Memang tidak akan pernah menguap, karena banyak pihak yang mencintai bahkan itu bukan hanya urang kutai sendiri. Para suku pendatang terutama Bugis sangat hormat pada urang kutai dan rajanya, apabila para tetua dan tokoh adat Bugis bertemua dengan keturunan Sultan rasa hormat itu terasa sangat dalam dan khidmat. Bahkan ketika upacara adat erau berlangsung, mereka rela memikul keturunan raja kutai dan tidak akan diturunkannya apabila belum sampai di kendaraan yang membawa rombongan.

Banyak diantara suku bugis yang datang ke Tenggarong, apabila sempat ke keraton dan membasuh muka di Mahakam mereka merasa belum sampai di Tenggarong. Demikianlah nilai-nilai historis dan sakralitas terus terjaga, hingga penobatan Aji Pangeran Prabu Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura di tahun 2001 lalu, sejarah dan tradisi kesultanan Kutai beserta rakyatnya tetap terjaga.

Selasa, 18 Agustus 2009

Eksotisme Kutai Barat

Kalau anda ke Kalimantan Timur, jangan lupa untuk berkunjung ke Kabupaten Kutai Barat. Sebuah Kabupaten baru hasil pemekaran dari Kutai Kartanegara pada 5 November 1999 lalu. Bupati pertamanya adalah Ir Rama Asia, dan kemudian digantikan oleh Ismael Thomas pada Pilkada 2005 lalu.



Apabila anda senang dengan eksotisme kesenian dan adat budaya masyarakat Dayak, terutama Tunjung dan Benuaq, maka tidak salah untuk mengunjungi Kubar si Tana' Purai Ngeriman, yang artinya adalah "negeri subur dan rejeki melimpah"
Di sana anda akan menyaksikan langsung bagaimana warga dayak membawakan tarian dan seni mereka secara langsung, sehingga terlihat sangat indah dan tinggi sakralitasnya.



Apabila ingin berkunjung ke Kubar, kami sarankan untuk datang pada awal bulan November, karena pada masa itulah kabupaten ini mengadakan pesta ulang tahun berdirinya. Berbagai persembahan kesenian ditampilkan, mulai dari kesenian di berbagai lamin, hingga persembahan tarian massal yang biasanya dipusatkan di lapangan bola Sendawar.

Kami sarankan pula apabila anda berkunjung ke sana, untuk singgah di Lamin Mancong, Kecamatan Tanjung Isui yang terkenal dengan keindahannya dan keramahan para gadisnya yang cantik-cantik.


Untuk keperluan penginapan dan akomodasi lainnya, anda tidak erlu khawatir, bagi para pelancong dengan modal tipis, tersedia angkutan Bus antar kota yang melayani angkutan dari dan Ke Kubar setiap hari. Perjalanan ke sana memerlukan waktu sekitar 7 sampai 8 jam, dengan pemandangan alam kalimantan yang sangat indah. Untuk naik bus anda dapat langsung ke terminal Singai Kunjang Samarinda, atau diperhentian Bukit Biru Tenggarong.

Jadi selamat berwisata, nikmatilah eksotisme Kutai Barat, dengan sejuta kenangan indah anda. Namun hati-hati terhadap anak gadis setempat, karena salah-salah anda akan pulang dengan seorang gadis dayak sebagai istri anda.
Mereka bebas bergaul, namun apabila berlebihan atau telah jatuh hati, maka anda akan dikejar hingga menjadi suaminya. Tapi kabar baiknya mereka setia lho bila telah jadi isteri anda.

Senin, 17 Agustus 2009

Sudut Langit di Makroman

Sebuah sudut langit yang terekam di Kelurahan Makroman, Kecamatan Samarinda Ilir, ada sudut keindahan dari bentang alam yang terasa sunyi. Meski bagian dari ibu kota provinsi Kalimantan Timur, keberadaannya memang jauh dari ramai.



Untuk mencapai ke kelurahan tersebut, kita harus berkendara sejauh kurang lebih 20 Km dari Kota Samarinda. Tidak ada fasilitas apapun di tempat ini, karena memang keberadaannya bukan daerah tujuan wisata. Makroman tepatnya adalah sebuah desa transmigrasi yang umurnya kurang lebih sama dengan transmigrasi di Desa Sidomulyo Anggana Kutai Kartanegara, yang menjadi batas langsung di bagian timur Makroman.


Tempat ini indah lanscapnya karena berada di atas perbukitan, untuk mencapainya kita harus melewati dahulu sebuah jalan aspal yang berlubang, kemudian kita akan tembus ke daerah perbukitan di mana jarang penduduknya, dan jalannya tidak beraspal, karena dibangun dengan kerikil saja sebagai agregatnya.
Konon ditempat ini seringkali ditemukan adanya peninggalan purbakalai berupa keramik dan guci kuno, yang diperkirakan merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai Kartanegara, nanti akan saya posting secara lebih lengkap.

Selasa, 04 Agustus 2009

Menebang Rumbia

Beberapa waktu saya sempat mengabadikan beberapa petani di Tenggarong, sedang menebang pohon rumbia. Kegiatan ini sangat jarang dan termasuk unik di Tenggarong, karena sagu bukan merupakan makanan pokok warga di Kutai Kartanegara.
Biasanya orang kutai lebih suka makan nasi sebagai makanan pokok mereka di banding sagu, jagung, dan ubi yang biasa hanya disuguhkan sebagai makanan pelengkap saja.


Karena penasaran saya mengikuti kegiatan mereka, ternyata yang dilakukan adalah, menebang rumbia untuk diambil isi batangnya sebagai makanan ternak itik yang merekapelihara. Menurut para petani ini, rumbia sangat cocok untuk pakan itik petelur karena selain murah juga mengandung karbohidrat.




Sebelumnya mereka memberi makan itiknya dengan keong, namun akhir-akhir ini keong yang semula merajalela di berbagai pelosok Tenggarong, mulai langka akibat sering dimusnahkan karena seringkali menjadi hama perusaka tanaman padi para petani.
Kemudian mereka beralih pada dedak sisa kulit padi, namun akhir-akhir ini harga dedak sendiri melambung tinggi sehingga rumbia menjadi alternatif.





Satu pohon rumbia harganya hanya Rp.75 ribu rupiah, satu pohon cukup sebagai pakan itik selama 2 minggu, dengan jumlahnya sekitar 200 ekor lebih. Sedangkan harga dedak satu karung sebesar Rp.25 ribu rupiah dan tahan hanya sekitar 4 hari saja.
Dengan demikian rumbia menjadi alternatif makanan murah dan sehat bagi itik.


Biasanya rumbia ditebang ramai-ramai, kemudian batangnya dipotong-potong untuk dihanyutkan ke sungai Tenggarong guna memudahkan membawanya.
Setelah sampai di kandang, batangnya kemudina dibelah menjadi empat bagian, dan segera diserut dengan alat khusus, sehingga menghasilkan makanan bagi itik.