Jumat, 15 November 2013

Kemacetan (Mungkin) Tanggung Jawab Pemerintah


Simpang 4 Air Putih Samarinda, Sebagai Ibu Kota Propinsi Infrastruktur jalan 
di kota ini  sangat tidak memadai, jalannya sangat sempit  tidak sesuai
dengan laju pertumbuhan kendaraan dan proyeksi pertambahan jumlah 
penduduk yang banyak berdatangan dari daerah lain terutama dari Pulau Jawa
Akhir-akhir ini hampir di seluruh kota besar di Negara kita Indonesia tercinta ini mengalami kemacetan. Setiap ibu kota propinsi yang merangkap jadi pusat ekonomi tiap daerah,  plus Ibukota Negara RI yang juga merangkap sebagai pusat ekonomi nasional  mengalami kemacetan yang sangat memusingkan terlebih lagi apabila jam sibuk yaitu jam kerja dan ketika pulang bekerja serta ditambah akhir pecan di wilayah tertentu  pada setiap daerah.

Berbagai kajian telah disampaikan berbagai pihak mengenai biang kemacetan dan cara mengatasinya. Di berbagai media nasional sangat sering bahkan hampir tiap pagi siang dan malam, dibahas masalah kemacetan lalu lintas ini. Seringakli juga diberitakan silang pendapat atau perbedaaan pandangan antara Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan Gubernur Jokowi Widodo dari Daerah Khusu Ibu Kota (DKI) Jakarta.

Presiden memandang bahwa masalah kemacetan ini adalah tanggung jawab kepala daerah, dalam hal ini gubernur pada tiap daerahnya, dan salah satu yang disebut adalah daerah ibu kota Negara yaitu Jakarta. Presiden mengaku ditanya oleh rekannya sesama pemimpin ASEAN lainnya tentang kemacetan di Jakarta, sebagai Ibukota Negara memang Jakarta bukan hanya menjadi perhatian rakyat Jakarta dan Indonesia saja juga bagi para pemimpin Negara tetangga terkait dengan kepentingan bisnis dan strattegis mereka di Indonesia.

Pernyataan presiden ini mendapat tanggapan dari Jokowi yang justru melemparkan pernyataan bahwa, kemacetan Jakarta juga tanggung jawab pusat. Jokowi yang merasa seolah olah dikritisi oleh presiden juga menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat dengan mobil murahnya itulah yang menyebabkan kemacetan makin para di Jakarta dan daerah lainnya.

Sampai pada titik ini silang pendapat yang sengit terjadi antara para Jokowisme sejati (istilah saya bagi mereka yang pro kebijakan Jokowi secara mutlak tanpa boleh dibantah), dengan para pengamat lain yang melihat permasalahan secara proporsional.

Tetapi saya juga tidak akan ikut mengkritisi Jokowi karena selain takut di serang para Jokowisme, juga tidak pada tempatnya saya warga daerah Kaltim yang jauh dari Jakarta dan jarang sekali ke Jakarta untuk ikut-ikutan bicara Busway dan MRT ataupun mobil murah yang katanya akan memacetkan Jakarta.

Karena tiap daerah tentunya memiliki karakteristik masing masing, sehingga ahlinya seharusnya orang yang tahu tentang daerah itu sendiri bukan tiba-tiba dari daerah lihat lihat terus coba-coba dan berteori dalam kebijakan karena kebijakan yang masih sebatas teori terlihat dari tidak matangnya hasil. Salah obat bukan semakin baik tetapi semakin parah itu pasti.

Bagi daerah saya Kalimantan Timur, yang meliputi Samarinda sebagai Ibu Kota Provinsi dan Balikpapan sebagai pusat ekonomi, ditambah Tenggarong Kutai Kartanegara, Bontang, dan Samboja sebagai penyangga, kemacetan belum begitu parah. Tetapi sudah mulai sangat terasa di Samarinda dan Balikpapan pada jam kerja yang itu berangkat dan pulang.

Beberapa waktu lalu ketika mencuci mobil, saya sempat terlibat debat kusir dengan seorang pengusaha yang memiliki mobil Honda CRV. Entah karena terlalu lama menunggu sehingga yang bersangkutan boring dan bête, basi basi mengalir ke masalah kemacetan Samarinda yang mulai terasa sehingga menganggu aktivitas bisnis setiap orang.

Si pengusaha yang tidak saya tahu namanya ini dengan logat Sulawesi yang kental, mengatakan bahwa masalah kemacetan ini dirinya setuju dengan ucapan Gubernur DKI Jokowi bahwa kemacetan disebabkan oleh adanya mobil murah dan kredit  mobil yang mudah.

Sehingga tiap orang dapat membeli mobil, dan tipikal warga kita yang tidak mau kalah saing, juga membuat penjualan mobil dengan cara kredit Berjaya  sehingga jalanan makin dipenuhi kendaraan roda 4 dan 2 yang dimiliki bahkan oleh warga kurang mampu secara finasial untuk memberli mobil itu sendiri dan dipaksakan demi agara tidak kalah dengan tetangga.

Saya sendiri mobil saya murah karena hanya bermerek Xenia dan saya beli secara kredit. Yang saya rasakan adalah saya sangat merasa terbantu dengan mobil murah ini, karena saya bisa beraktivitas tepat waktu dan pergi kemanapun tanpa terganggu dengan rute angkutan umum daerah ini.

Saya sendiri tidak merasa gaya dengan mobil murah ini, karena ketika belum punya mobil saya naik angkutan umum dari samarinda ke Tenggarong, kalau ke terlalu sore seringkali saya diturunkan dari angkutan samarinda tenggarong di tengah jalan karena kurang penumpang, saya dititipkan pada mobil lainnya.

Belum lagi angkutanya si sopir menyetir semaunya, kursinya dari kayu papan atau kota, dan mobilnya adalah mobil Cold tahun 1980an yang dulu ketika saya kecil saya naik itu juga. Pengalaman saya naik bis dari Balikpapan Samarinda tidak dapat tempat duduk, berdiri juga tidak bisa sehingga duduk di lantai tengah bus, dan busnya melakukan aksi kebut sehingga penumpang banyak yang takut dan berteriak minta sopiranya pelan.

Saya juga pernah naik taksi bandara dari Sepinggan ke Samarinda, dan taksi-taksi ini sungguh sangat mengerikan mereka melaju dengan kecamatan melebihi 100 km/jam dan mendahului mobil atau kendaraan lain di tikungan yang di jalan antara Balikpapan – Samarinda tidak ada jalan lurus kecuali sedikit di wilayah Kecamatan Samboja Kutai Karatanegara.

Apabila ingin ke daerah kota tertentu yang berada dipinggiran atau pedalaman, seringkali tidak terjangkau angkutan umum dan infrastruktur jalan sendiri sangat tidak mendukung untuk angkutan umum. Sehingga bagi yang sayang nyawa lebih baik menggunakan kendaraan sendiri.

Peran pemerintah terutama pemerintah daerah juga sangat penting, seperti Kota Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan Bontang, yang hingga saat ini jalannya rata-rata sempit semua, terlihat tidak memiliki visi ke depan tentang estimasi jumlah pengguna jalan dalam hitungan beberapa tahun ke depan. Terlihat pemerintah baik provinsi Kaltim dan kota maupun kabupaten, masih berpikir seperti tahun 1980an ketika mobil dan motor jarang berada di jalanan.

Keengganan pemerintah untuk melakukan peleberan lahan dengan alasan terbentur pada masalah pembebasan terlalu  mengada-ngada. Karena pada setiap rumah, setiap kendaraan yang ada di jalan, dan setiap manusia yang bernapas, semua membayar pajak, baik itu PBB, kendaraan, restoran, pajak hiburan, bahkan ketika bayi baru lahir ke dunia juga sudah membayar pajak melalui rumah bersalin.

Kenapa pemerintah takut untuk membebaskan lahan, dana tinggal anggarkan. Dari pada dianggarkan untuk studi lahan gambut dan pengelolaan rawa ke belgia dan norwegia. Atau biaya operasional sidak yang tidak pernah ada progresnya. Lebih baik dianggarkan untuk pembebasan lahan guna pelebaran jalan.

Selain itu anggarkan juga untuk  pembangunan angkutan massal, seperti jalur bus antar kota dalam provinsi dan saran kereta api. Dengan demikian akan terjadi banyak pilihan oleh rakyat untuk bepergian. Saya bila ada sarana umum dan massal yang representatif tentu memilih angkutan umum karena sangat menghemat uang dan tenaga.

Untuk saat ini saya masih setia dengan Xenia saya mobil murah sejuta umat dan irit bahan bakar hehe. Karena angkutan umum seperti di kaltim ini masih sangat mahal dan tidak nyaman. Kalaupun nyaman juga kadang mobilnya membalap, sehingga menurut mobil murah itu untuk sementara menolang rakyat menengah.

Tidak ada komentar: