Selasa, 16 Juni 2009
Menengok Situs Kutai Lama
Beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri jalan-jalan ke Desa Kutai Lama Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara. Ketika itu saya hendak melihat-lihat situs peninggalan Kerajaan Kutai Kartanegara di bumi mana ketika kerajaan ini pertama kali berdiri, sejak abad ke 13 silam.
Dalam pikiran saya sejak awal adalah sebuah lingkungan yang melankolis, dengan sisa jejak masa silam ketika Kerajaan ini memimpin rakyatnya untuk eksis menjaga sebuah nama : Kutai yang kita kenal hingga saat ini. Sebuah napak tilas ketika masa yang berlalu adalah cerminan bagi langkah kita pada masa yang akan datang, sunyi dan hikmat dengan berbagai gundukan menjelaskan adanya jasad para bangsawan dan rakyat Kutai tempo dulu.
Namun ketika sampai di Kutao Lama saya kaget, ada perubahan luar biasa sejak kedatang saya puluhan tahun silam. Sekarang telah berdiri bangunan berupa cungkup dan pendopo, baik untuk menutupi makam, maupun pendopo tempat istirahat dan makan.
Suasana lingkungannya juga nampak bersih, berpagar dan jalannya telah disemenisasi. Bahkan pada lingkungan tempat Makam Sultan Aji Dilanggar dan Aji Raja Mahkota Mulia Alam yang merupakan Sultan ke 6 dan ketujuh Karajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, telah diberi pagar steinlees yang nilainya lumayan.
Menurut Nasib dan Fatur Rossi dua petugas makam yang sempat saya temui menceritakan, kalau pagar steinlees dan karpet serta beberapa bagian sudut makam merupakan bantuan dari beberapa orang peziarah. Mereka memberikan bantuan lantaran nazar yang diucapkan ketika menziarahi makam berhasil.
Memang saya sempat menjumpai sebuag rombongan keluarga Bugis yang berasal dari Kehewanan Samarinda. Mereka yang nampaknya satu rombongan keluarga tersebut datang dengan membawa satu ekor anak kambing jantan untuk disembilih sebagai pembayar nazar lantaran cita-cita yang diucapkan pada makam berhasil.
Sebelum upacara menyebelih kambing digelar, terlebih dahulu mereka melemparkan banyak uang receh pada warga setempat yang memang telah menunggu di depan makam. Sambil mengucap shalawat Nabi, maka dilemparkanlah uang receh yang kemudian diserbu para orang tua dan anak-anak setempat.
Mengenai keberadaan warga ini, meskipun terkadang keberadaan mereka terasa menganggu lantaran suka minta uang dan ngikutin kita berjalan. Namun ternyata keberadaan mereka katanya sih malah diharapkan pengunjung, karena salah satu tanda hajat akan terkabul adalah kita dikerumuni orang tua dan anak-anak yang meminta uang.
Sebagai info ternyata jumlah kunjungan peziarah pada makam atau situs kerajaan ini, jumlahnya mencapai angka 3000 orang perbulannya. Namun dua penjaga Makam Nasib dan Fatur mengeluh, mereka tidak memiliki pendapatan yang cukup lantaran tidak semua pengunjung memberi uang.
Apalagi keberadaan mereka sebagai penjaga makam ternyata tidak digaji oleh Dinas Pariwisata dan budaya Kutai Kartanegara. Sedangkan pengelolaan dilakukan secara tradisional saja, sehingga tidak ada retribusi pasti bagi peziarah untuk petugas maupun kas desa (sayangya).
Ketika Nasib dan Fatur meminta bantuan bila suatu saat ketemu Kadis Pariwisata ataupun pejabat berwenang lainnya untuk dicarikan solusi. Namun saya hanya dapat menyuruh bersabar, sembari menjelaskan kalau saya ini tidak punya chanel pada para pejabat itu. Saya hanya dapat menyarankan, agar Si Nasib dan Fatur ini coba-coba aja minta berkah sama yang dijaganya. Masak orang lain dapat kok yang jaga tidak..? Itu bila memang benar sebuah makam dapat merubah nasib seseorang. "Minta saja pak sama Sultan Dilanggar siapa tahu dikabulkan dan bapak langsung jadi orang kaya," kata saya ketika itu..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar