Kerajaan Tertua di Indonesia yang berada di Desa
Brubus Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara namanya bukan Kerajaan Kutai. Karena Kerajaan
Kutai sebenarnya baru muncul di Muara Mahakam, di Desa Kutai Lama Kecamatan
Anggana pada abad ke 13 yang raja
pertamanya adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Bandingkan
dengan dengan berdirinya Kerajaan Hindu di Muara Kaman yang berdiri pada abad ke 4 Masehi, dengan raja pertamanya
adalah Kudungga. Dalam Prasasti Yupa dan berbagai cerita maupun literatur yang
sangat minim. Tidak pernah disebutkan sebagai kerajaan Kutai, namun seringkali disebutkan sebagai negeri
Martadipura dengan ibu kota Martapura, dan memiliki tempat persembahyangan
bernama Waprakeswara.
Memiliki
kekayaan yang melimpah sehingga mempersembahkan jiwadana, berupa pohon
kalpataru, dan 3 ribu ekor sapi untuk para pendeta yang telah sudi membantu
raja dalam berbagai hal. Hadiah itu tercatat dalam prasasti Yupa yaitu tiang
batu bertulis, dan nama raja yang memberikannya adalah Mulawarman anak dari
Aswawarman, cucu dari Kudungga yang mendirikan kerajaan.
Secara
dialek bahasa, meskipun diakui sebagai bahasa Kutai, namun dialek warga Muara
Kaman memang agak berbeda dengan dialek Kutai di Tenggarong. Dalam sejarahnya
Martadipura yang kaya akan sumber daya alam berupa emas dan komidti hutan
seperti tengkawang dan rotan, akhirnya menjadi rival dari kerajaan baru di
Muara Mahakam yang bernama Kutai Kartanegara.
Dalam
perjalanannya kedua Kerajaan sama-sama berusaha menghindarkan diri dari jurang
peperangan. Terbukti dengan berbagai diplomasi kedua belah pihak, seperti upaya
untuk saling mengakui saudara, dan dilakukannya perkawinan antara putri raja di
Muara Kaman dan putra mahkota Kerajaan Kutai Kartanegara.
Namun
upaya itu tidak dapat mengihndarkan kepentingan strategis kedua kerajaan dan
akhirnya konfrontasi tidak bisa dihindarkan. Dengan posisinya yang strategis di
Muara Mahakam, maka kerajaan Kutai Kartanegara mampu melakukan isolasi baik
perdagangan maupun pertahanan terhadap Muara Kaman yang berada di pedalaman.
Setiap
perjalanan ke Muara Kaman dan kerajaan-kerajaan lainnya di pedalaman, seperti
Sendawar, Kota Bangun dan Kedang, maka harus melalui Sungai Mahakam. Sehingga
Armada Kerajaan Kutai Kartanegara meskipun tidak sebesar kerajaan-kerajaan di
Jawa atau Sumatra mampu melakukan pencegatan yang efektif.
Terisolasi,
Muara Kaman coba membangun persekutuan dengan kerajaan-kerajaan kecil di
pedalaman. Namun keberhasilan Kutai Kartanegara mengadakan perjanjian dengan
kerajaan Sendawar yang merupakan
kerajaan terbesar di pedalaman dari Suku
Dayak Tunjung semakin melemahkan Muara
Kaman.
Klimak
dari persaingan dua kerajaan ini terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Sinum
Panji Mendapa di Kutai Kartanegara. Sedangkan di Muara Kaman, menjabat Maharaja
Darmasetia. Sejarah mencatat bahwa pemicu peperangan adalah masuknya pengaruh
Islam di tanah Kutai.
Namun
pengaruh Islam itu hanya sebagai klimak dari berbagai konfrontasi yang telah
terjadi ratusan tahun. Sumber ekonomilah yang menjadi alasan sebenarnya
peperangan, dengan menguasai Muara Kaman, maka Kerajaan Kutai berhak atas emas
yang melimpah dan berkuasa penuh terhadap kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman
dan sekitar danau-danau besar di pedalaman hingga perbatasan Sendawar.
Dengan
isoliasi yang sangat lama maka peperangan tidak berlangsung lama, dalam 3 hari
pertama peperangan Brubus yang menjadi pusat pemerintahan berhasil dihancurkan.
Berdasarkan buku sejarah Kutai yang harusnya dilakukan penelitian lagi kea rah
itu, Perlawanan pasukan Muara Kaman hanya tercatat dalam hari pertama
penyerangan, dengan cara menumpahkan emas-emas mereka di tepian Danau Lipan
yang dahulu kala luasnya bagaikan lautan.
Siasat
Kerajaan Muara Kaman itu berhasil sehingga banyak pasukan Kerajaan Kutai yang
lupa daratan, sehingga masing –masing berlomba ke daratan, dan kedatangan
mereka disambut senjata-senjata pasukan Darmasetia yang sudah menunggu.
Sementara
perang berkecamuk, para pendeta Hindu yang selama ini mendarma baktikan dirinya
kepada Kerajaan Martadipura, segera melarikan diri ke arah Wahau di Kutai
Timur. Kepergian mereka demi menyelematkan berbagai perlengkapan ibadahnya,
seperti arca-raca dewa dan berbagai perlengkapan upacara dari emas dan perah
serta permata, karena terburu-buru banyak dari harta itu yang tercecer untuk
kemudian ditemukan penduduk kemudian hari.
Peperangan
berakhir setelah Pangeran Sinum Panji Mendapa dapat menewaskan Maharaja Darmasetia
yang berperang demi keyakinan masing-masing. Dalam buku sejarah Kutai
tertuliskan bahwa ketika itu penduduk berlarian, karena rumah-rumah di bakar,
dan istana dihancurkan, darah menggenang hingga setinggi tumit akibat perang
yang bagi mereka ketika itu sangat besar.
Setelah
dapat mengalahkan Kerajaan Martadipura, maka Pangeran Sinum Panji Mendapa,
menambahkan nama Martadipura di belakang nama Kutai Kartanegara menjadi Kutai
Kartanegara Ing Martadipura yang artinya menang di Martadipura dan aneksasi
resmi dilakukan. Pangeran Sinum sendiri
juga menambahkan Martadipura di belakang namanya dengan Sebutan Pangeran Sinum
Panji Mendapa Ing Martadipura.
Maka
sejak itu berakhirlah Kerajaan Martadipura dengan Ibu Kota Martapura, bagi
keturunan kerajaan yang memeluk Islam maka diperkenankan untuk kembali ke
Martadipura yang sejak itu lebih dikenal
sebagai Muara Kaman hingga kini.
Sedangkan
bagi yang masih mempertahankan agama lamanya yaitu Hindu, maka disebut dengan
“Urang Adat Lawas” yaitu artinya orang mempertahankan adat yang lama. Mereka
banyak mencari suaka ke Kerajaan Pantun di Kedang Ipil. Salah warisan kerajaan
Martadipura yang diadopsi oleh Kutai Kartanegara adalah Tarian Dewa yang
dipentaskan setiap Erau. Semula pada masa Orde Baru ketika Erau mulai diselenggerakan
sebagai festival budaya, taruan tersebut bernama tarian mulawarman.
Entah
mengulang kembali rivalitasnya, atau ada motif-motif lainnya, saat ini muncul
kembali pihak yang mengaku sebagai
Keturunan Kerajaan Martadipura, dan mentasbihkan Kemaharajaannya dan
silsilahnya. Apabila di Tenggarong ada Erau makan di Muara Kaman ada Cerau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar