|
Simpang 4 Air Putih Samarinda, Sebagai Ibu Kota Propinsi Infrastruktur jalan
di kota ini sangat tidak memadai, jalannya sangat sempit tidak sesuai
dengan laju pertumbuhan kendaraan dan proyeksi pertambahan jumlah
penduduk yang banyak berdatangan dari daerah lain terutama dari Pulau Jawa
|
Akhir-akhir
ini hampir di seluruh kota besar di Negara kita Indonesia tercinta ini
mengalami kemacetan. Setiap ibu kota propinsi yang merangkap jadi pusat ekonomi
tiap daerah, plus Ibukota Negara RI yang
juga merangkap sebagai pusat ekonomi nasional
mengalami kemacetan yang sangat memusingkan terlebih lagi apabila jam
sibuk yaitu jam kerja dan ketika pulang bekerja serta ditambah akhir pecan di
wilayah tertentu pada setiap daerah.
Berbagai
kajian telah disampaikan berbagai pihak mengenai biang kemacetan dan cara
mengatasinya. Di berbagai media nasional sangat sering bahkan hampir tiap pagi
siang dan malam, dibahas masalah kemacetan lalu lintas ini. Seringakli juga
diberitakan silang pendapat atau perbedaaan pandangan antara Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan Gubernur Jokowi Widodo dari Daerah
Khusu Ibu Kota (DKI) Jakarta.
Presiden
memandang bahwa masalah kemacetan ini adalah tanggung jawab kepala daerah,
dalam hal ini gubernur pada tiap daerahnya, dan salah satu yang disebut adalah
daerah ibu kota Negara yaitu Jakarta. Presiden mengaku ditanya oleh rekannya
sesama pemimpin ASEAN lainnya tentang kemacetan di Jakarta, sebagai Ibukota
Negara memang Jakarta bukan hanya menjadi perhatian rakyat Jakarta dan
Indonesia saja juga bagi para pemimpin Negara tetangga terkait dengan
kepentingan bisnis dan strattegis mereka di Indonesia.
Pernyataan
presiden ini mendapat tanggapan dari Jokowi yang justru melemparkan pernyataan
bahwa, kemacetan Jakarta juga tanggung jawab pusat. Jokowi yang merasa seolah
olah dikritisi oleh presiden juga menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat
dengan mobil murahnya itulah yang menyebabkan kemacetan makin para di Jakarta
dan daerah lainnya.
Sampai
pada titik ini silang pendapat yang sengit terjadi antara para Jokowisme sejati
(istilah saya bagi mereka yang pro kebijakan Jokowi secara mutlak tanpa boleh
dibantah), dengan para pengamat lain yang melihat permasalahan secara
proporsional.
Tetapi
saya juga tidak akan ikut mengkritisi Jokowi karena selain takut di serang para
Jokowisme, juga tidak pada tempatnya saya warga daerah Kaltim yang jauh dari
Jakarta dan jarang sekali ke Jakarta untuk ikut-ikutan bicara Busway dan MRT
ataupun mobil murah yang katanya akan memacetkan Jakarta.
Karena
tiap daerah tentunya memiliki karakteristik masing masing, sehingga ahlinya
seharusnya orang yang tahu tentang daerah itu sendiri bukan tiba-tiba dari
daerah lihat lihat terus coba-coba dan berteori dalam kebijakan karena
kebijakan yang masih sebatas teori terlihat dari tidak matangnya hasil. Salah
obat bukan semakin baik tetapi semakin parah itu pasti.
Bagi
daerah saya Kalimantan Timur, yang meliputi Samarinda sebagai Ibu Kota Provinsi
dan Balikpapan sebagai pusat ekonomi, ditambah Tenggarong Kutai Kartanegara,
Bontang, dan Samboja sebagai penyangga, kemacetan belum begitu parah. Tetapi
sudah mulai sangat terasa di Samarinda dan Balikpapan pada jam kerja yang itu
berangkat dan pulang.
Beberapa
waktu lalu ketika mencuci mobil, saya sempat terlibat debat kusir dengan
seorang pengusaha yang memiliki mobil Honda CRV. Entah karena terlalu lama
menunggu sehingga yang bersangkutan boring dan bĂȘte, basi basi mengalir ke
masalah kemacetan Samarinda yang mulai terasa sehingga menganggu aktivitas
bisnis setiap orang.
Si
pengusaha yang tidak saya tahu namanya ini dengan logat Sulawesi yang kental,
mengatakan bahwa masalah kemacetan ini dirinya setuju dengan ucapan Gubernur
DKI Jokowi bahwa kemacetan disebabkan oleh adanya mobil murah dan kredit mobil yang mudah.
Sehingga tiap orang dapat membeli mobil, dan
tipikal warga kita yang tidak mau kalah saing, juga membuat penjualan mobil
dengan cara kredit Berjaya sehingga
jalanan makin dipenuhi kendaraan roda 4 dan 2 yang dimiliki bahkan oleh warga
kurang mampu secara finasial untuk memberli mobil itu sendiri dan dipaksakan
demi agara tidak kalah dengan tetangga.
Saya
sendiri mobil saya murah karena hanya bermerek Xenia dan saya beli secara
kredit. Yang saya rasakan adalah saya sangat merasa terbantu dengan mobil murah
ini, karena saya bisa beraktivitas tepat waktu dan pergi kemanapun tanpa
terganggu dengan rute angkutan umum daerah ini.
Saya
sendiri tidak merasa gaya dengan mobil murah ini, karena ketika belum punya
mobil saya naik angkutan umum dari samarinda ke Tenggarong, kalau ke terlalu
sore seringkali saya diturunkan dari angkutan samarinda tenggarong di tengah
jalan karena kurang penumpang, saya dititipkan pada mobil lainnya.
Belum
lagi angkutanya si sopir menyetir semaunya, kursinya dari kayu papan atau kota,
dan mobilnya adalah mobil Cold tahun 1980an yang dulu ketika saya kecil saya
naik itu juga. Pengalaman saya naik bis dari Balikpapan Samarinda tidak dapat
tempat duduk, berdiri juga tidak bisa sehingga duduk di lantai tengah bus, dan
busnya melakukan aksi kebut sehingga penumpang banyak yang takut dan berteriak
minta sopiranya pelan.
Saya
juga pernah naik taksi bandara dari Sepinggan ke Samarinda, dan taksi-taksi ini
sungguh sangat mengerikan mereka melaju dengan kecamatan melebihi 100 km/jam
dan mendahului mobil atau kendaraan lain di tikungan yang di jalan antara
Balikpapan – Samarinda tidak ada jalan lurus kecuali sedikit di wilayah
Kecamatan Samboja Kutai Karatanegara.
Apabila
ingin ke daerah kota tertentu yang berada dipinggiran atau pedalaman,
seringkali tidak terjangkau angkutan umum dan infrastruktur jalan sendiri
sangat tidak mendukung untuk angkutan umum. Sehingga bagi yang sayang nyawa
lebih baik menggunakan kendaraan sendiri.
Peran
pemerintah terutama pemerintah daerah juga sangat penting, seperti Kota Samarinda,
Balikpapan, Tenggarong, dan Bontang, yang hingga saat ini jalannya rata-rata
sempit semua, terlihat tidak memiliki visi ke depan tentang estimasi jumlah
pengguna jalan dalam hitungan beberapa tahun ke depan. Terlihat pemerintah baik
provinsi Kaltim dan kota maupun kabupaten, masih berpikir seperti tahun 1980an
ketika mobil dan motor jarang berada di jalanan.
Keengganan
pemerintah untuk melakukan peleberan lahan dengan alasan terbentur pada masalah
pembebasan terlalu mengada-ngada. Karena
pada setiap rumah, setiap kendaraan yang ada di jalan, dan setiap manusia yang
bernapas, semua membayar pajak, baik itu PBB, kendaraan, restoran, pajak
hiburan, bahkan ketika bayi baru lahir ke dunia juga sudah membayar pajak
melalui rumah bersalin.
Kenapa
pemerintah takut untuk membebaskan lahan, dana tinggal anggarkan. Dari pada
dianggarkan untuk studi lahan gambut dan pengelolaan rawa ke belgia dan
norwegia. Atau biaya operasional sidak yang tidak pernah ada progresnya. Lebih
baik dianggarkan untuk pembebasan lahan guna pelebaran jalan.
Selain
itu anggarkan juga untuk pembangunan
angkutan massal, seperti jalur bus antar kota dalam provinsi dan saran kereta
api. Dengan demikian akan terjadi banyak pilihan oleh rakyat untuk bepergian.
Saya bila ada sarana umum dan massal yang representatif tentu memilih angkutan
umum karena sangat menghemat uang dan tenaga.
Untuk
saat ini saya masih setia dengan Xenia saya mobil murah sejuta umat dan irit
bahan bakar hehe. Karena angkutan umum seperti di kaltim ini masih sangat mahal
dan tidak nyaman. Kalaupun nyaman juga kadang mobilnya membalap, sehingga
menurut mobil murah itu untuk sementara menolang rakyat menengah.